Keroncong adalah jenis musik khas Indonesia yang menggunakan instrumen musik dawai, suling, dan vokal. Musik dan tembang keroncong sepi peminat, masih ada pehobi yang menikmati. Meski sedikit.
Pada dekade 50-an perkembangan keroncong masih di daerah Solo dan sekitarnya. Namun muncul berbagai gaya baru yang berbeda dengan Masa Keroncong Abadi (termasuk musisinya), dan merupakan pembaruan sesuai dengan lingkungannya.
Bentuk adaptasi keroncong terhadap tradisi musik gamelan dikenal sebagai langgam Jawa, yang berbeda dari langgam yang dimaksud di sini. Langgam Jawa memiliki ciri khusus pada penambahan instrumen antara lain siter, kendang (bisa diwakili dengan modifikasi permainan cello ala kendang), saron, dan adanya bawa atau suluk berupa introduksi vokal tanpa instrumen untuk membuka sebelum irama dimulai secara utuh. Tahun 1968 Langgam Jawa berkembang menjadi Campursari.
Memasuki industri rekaman musik keroncong langgam Jawa yang non profit, seperti menguak belantara hutan, tanpa teman. Dan wajib berjuang sendirian.
Itulah yang dirasakan Indra Utami Tamsir atau biasa dipanggil Mbak IUT. Ia adalah penyanyi kerongcong langgam Jawa sekaligus penerima predikat ‘Penyanyi Keroncong Terbaik’ AMI Award 2013, lewat album ‘Nggayuh Katresnan’
“Sejak 15 tahun lalu, saya memasuki industri rekaman keroncong secara indie, yang semuanya saya biaya sendiri!” ucap IUT yang ditemui di acara Cakap Cakap Bens Leo, pekan lalu.
“Beruntung, saya memiliki beberapa bisnis yang bisa diupayakan untuk menyokong pembiayaan rekaman saya,” kata perempuan ayu yang sudah merilis empat album : “Pengantin Agung” (2012), “Nggayuh Katresnan” (2013), “Wanita” (2016) dan “Mustika Indonesia” (2018)
IUT yang berbintang Cancer ini mengaku semua itu dilakukannya, karena ia merasa bahagia saat menyanyi keroncong. “Mungkin karena keroncong sudah menjadi bagian dari nafas saya. Maka, tidak ada kata sulit untuk mengerjakannya!’
Selain membiayai produksi album, IUT juga mendirikan Dewanggo Nuswantoro, band pengiring untuk ia bernyanyi.
“Awalnya, saya perlu band untuk pengiring latihan. Belakangan, mereka juga menemani saya show dan tour ke 9 daerah beberapa waktu lalu,” kata Ibu dari Tara (26) , Galuh (21) dan Intan (16) yang juga tertarik dengan musik ini.
Tartantang Meregenerasi Penyanyi
Di Industri musik keroncong, apalagi khusus langam Jawa, memang sedikit sekali nama penyanyi wanita yang meraih popularitas nasional.
Satu di antaranya Waljinah, yang mendapat julukan Ratu Keroncong dan mempopulerkan “Walang Kekek” . IUT sendiri ada beberapa generasi di bawah Waljinah yang berkarir sejak tahun 1958. IUT bisa disebut sebagai The Next Waljinah
Menurut IUT, penyanyi keroncong yang mengambil specialisasi langgam Jawa memang terasa lambat berkembang.
“Padahal, saat show ke daerah, saya melihat banyak bibit bagus. Namun mereka tidak punya kesempatan untuk berkembang apalagi sampai merilis album,” ujar IUT.
Dalam rangka mencari penyanyi regenarsi baru keroncong, IUT menggelar kompetisi nyanyi keroncong, khusus Wanita dan berkebaya.
“Sengaja saya cari penyanyi Wanita dan wajib berkebaya. Karena itu sangat identik dengan music keroncong!” kata IUT yang akan mengulang membuat kegiatan tersebut dalam waktu dekat.
Pada Juli 2021, IUT akan merilis album kelima. Khusus di penggarapan album ini, IUT untuk pertama kalinya turun menulis lirik untuk 7 lagu , di antara 9 lagu yang dinyanyikan dan direkamnya.
“Notasi dan aransemennya ditulis Budi L Tandang, antara lain ‘Kayungyun’, ‘Kembang Impen’, ‘Cincin Emas’ dan ‘Ngelayun Esemu’,” ujar IUT yang memiliki penggemar di Suriname, Belanda dan Jepang itu.
Lebih lanjut IUT menjanjikan album ini, “Akan berisi penuh cinta, tidak ada kesedihan, tidak ada kehilangan apalagi patah hati,” ujar IUT. “Saya ingin memperdengarkan kepada generasi milenial, ini adalah album keroncong yang penuh kasih sayang dan menebar kedamaian. (NS/KD)