Thursday, November 7, 2024

Dialog Terbuka Hak Cipta dan Bahasa dalam Film Indonesia

Kusut masai persoalan hak cipta di Indonesia. Tak terkecuali di bidang izin produksi film terkait judul dan konten sebuah produksi film. Persoalan ini dibahas dalam dialog terbuka Hak Atas Kekayaan Intelektual Perfilman dalam kaitan Produksi yang berlangsung di hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis 16 Mei 2019.

Acara yang diinisiasi Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) dan difasilitasi Pusat Pengembangan Film (Pusbang Film), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu dihadiri oleh sejumlah kalangan perfilman dan wartawan peliput perfilman.

Ketua Umum PPFI Firman Bintang salah satu pembicara dalam acara dialog itu menceritakan pengalamannya ketika masih aktif ssebagai anggota Lembaga Sensor Film (LSF) menemukan masalah ini. Rebutan judul sering terjadi. Ini dikarenakan sejak era reformasi kita hanya melakukan pendaftaran judul filmnya saja,”ungkap dia.

Dijelaskannya lebih jauh, saat Jero Wacik masih menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, membuat film sifatnya hanya mendaftarkan judul ke Direktorat Film. Ketika terjadi pendaftaran itu, maka baru diketahui ada beberapa judul film yang sama.

“Pernah ada permasalahan judul film Malam Satu Suro dan Rumah Kentang. Karena ada produser yang saling mengklaim judul itu milik mereka,”papar Firman Bintang. Persoalan rebutan judul itu, makin diperkeruh dengan hadirnya sejumlah judul film aseperti Santet Celana Dalam, yang akhirnya digantikan menjadi Santet CD. Hingga judul film Diperkosa Setan.

Sementara itu Agung Damar Sasongko, SH. MH dari Dirjen HAKI yang juga menjadi pembicara dalam dialog terbuka itu mengatakan bahwa UU Hak Cipta melindungi sebuah ide. Judul, kata Agung, dalam sebuah karya tidak dilindungi  oleh UU karena judul dalam karya bisa saj sama satu dengan yang lainnya, tetapi isi dalam karya berbeda.

Agung menambahkan perlindungan atas Hak Cipta berbeda dengan paten. Sebuah karya cipta, bila sudah dipublikasikan otomatis sudah dilindungi.”Misalkan saya membuat sebuah buku kemudian saya upload di blog saya, otomatis karya itu sudah dilindungi. Siapa saja dan di mana saja negaranya yang menggunakan karya saya atau mengkomersilkannya tanpa seizing saya sudah bisa dibawa ke rnaha hokum.”kata dia.

Deddi Gumelar atau lebih dikenal dengan nama Miing melihat film dari aspek strategi kebudayaan nasional.”Produser film dalam memproduksi film masih menggunakan pendekatan komersial saja. Begitu juga pemerintah dalam kebijakannya belum menjadikan film sebagai sebuah alat strategi kebudayaan.”ungkap mantan anggota Komisi X DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan.

Miing mencotohkan Amerika Serikat yang kalah perang di Vietnam bisa mengembalikan harga dirinya lewat film Rambo.” Di film itu, Amerika selalu menang. Meskipun kenyataannya kalah,” kata politisi yang kini bernaung di Partai Amanat nasional (PAN).

Acara dialog terbuka yang dimoderatori sineas senior Adisurya Abdi itu juga menghadirkan Penelitia Media dari Badan Bahasa, Wisnu Sasongko.  Pemakaian bahasa asing, menurut Wisnu, sangat tidak baik bagi pembinaan bahasa Indonesia. “Saya sangat menyesalkan. Padahal, penggunaan bahasa Indonesia untuk judul buku atau film tidak kalah menariknya. Karena bahasa bukan saja sebagai alat komunikasi tetapi juga bahasa itu cermin sbuah bangsa. Saya usul kalau ada film yang menggunakan bahasa asing sebaiknya ditolak saja,” tegas Wisnu. D2

Must Read

spot_imgspot_img

Related Articles