Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengadakan sebuah lomba menulis. Namanya, Suara Anak Penyandang Disabilitas kegiatan kompetisi ini untuk menampung suara dan pemikiran para penyandang disabilitas dari seluruh Indonesia.
“Kita mengharapkan mendengar suara-suara yang belum tersampaikan,” kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/4)
Nahar menuturkan, tulisan-tulisan karya para penyandang disabilitas nantinya akan dibukukan. Kemudian dijadikan masukan oleh para pembuat kebijakan dalam menyiapkan kebijakan dan program bagi anak-anak penyandang disabilitas.
Karya-karya penyandang disabilitas yang lolos seleksi akan disampaikan ke lintas kementerian. Juga pada badan yang terkait pada pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan anak-anak penyandang disabilitas.
Kegiatan Suara Anak Penyandang Disabilitas mencakup lomba menulis bagi anak-anak penyandang disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik dan ganda/multi. Batas usia peserta lomba secara umum maksimal 18 tahun, namun khusus untuk penyandang disabilitas intelektual batas usianya sampai 25 tahun.
Penyandang disabilitas yang akan mengikuti lomba bisa menulis mengenai beragam bidang. Dari pendidikan atau pelatihan, olahraga, seni, pariwisata, transportasi, kesehatan hingga ruang bermain. Panjang tulisan maksimum 750 kata. Naskah bisa dikirim mulai 8 April 2019 hingga 8 Juni 2019 melalui surat elektronik ke suaraanakdisabilitas@gmail.com.
KemenPPPA berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih memahami jika anak penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karenanya tema dari lomba menulis ini adalah ‘Dengarkan Curhatan Kami’ yang menyangkut pendidikan/pelatihan, olahraga, seni, pariwisata, transportasi, kesehatan, dan ruang bermain. Lomba ini dapat diikuti oleh anak penyandang disabilitas dengan batas usia 18 tahun.
“Ide dari kegiatan ini adalah kami merasa betapa sulitnya anak dan keluarga penyandang disabilitas mendapatkan akses. Belum lagi ada perasaan malu, gagal, dan semacamnya,” ujar Deputi Bidang Perlindungan KemenPPA, Nahar, SH, M.Si saat wawancara doorstop dengan Skalaekonomi.com.
Dikatakan oleh Nahar, kegiatan ini diharapkan dapat menggugah pemikiran banyak orang jika dalam hidup memang banyak perbedaan tapi perbedaan dilengkapi keistimewaan-keistimewaan tertentu. Pada prinsipnya, semua orang memiliki kesempatan yang sama. Oleh karena itu, dirinya mengajak anak penyandang disabilitas maupun keluarganya untuk menyampaikan perasaan dan keinginannya.
Anastasya Aleta namanya. Seorang penyandang disabilitas. Gadis 17 tahun itu menderita penyakit autoimun sehingga membuatnya tidak dapat berjalan normal. Kursi Roda pun menjadi pilihannya.
Aleta punya harapan. Pemerintah membangun infrastruktur dengan tidak melupakan penyandang disabilitas. Infrastruktur yang mendukung kenyamanan dan keleluasaan beraktivitas bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Tinggal di Bogor, Aleta mengaku belum ada keberpihakan kepada mereka. Ia terpaksa menjalani pendidikan nonformal homeschooling untuk dapat mengenyam pendidikan. Padahal awalnya dia ingin bersekolah di sekolah reguler. Jalanan yang harus dilaluinya ke sekolah, ujar dia, tidak nyaman bagi pengguna kursi roda. Demikian pula fasilitas pendidikan reguler yang ada.
“Tadinya aku mau masuk sekolah reguler cuma fasilitasnya kurang ada untuk kita, misalnya tangga, jadi kita harus naik ke atas dan pihak sekolah nggak mau memindahkan kelas ke bawah. Jalanan juga nggak bisa dilewati kursi roda seperti jalan yang berlobang, jalan nggak rata,” ujar Aleta saat diwawancarai Skalaekonomi.com di kantor KPPA, Jakarta.
Aleta meminta agar masyarakat tidak memandang sebelah mata para penyandang disabilitas. “Harapan aku supaya penyandang disabilitas anak-anak supaya suaranya tidak dilupakan. Juga supaya kita bisa dapat kesempatan yang sama dengan anak-anak lain,” tutur Aleta. KD/SE1