Demi Keadilan Kasus Faridawati Harus Dituntaskan
Matamatanews.com, JAKARTA —Kisah mengenaskan ini ini bermula dari dari perjanjian kredit antara Faridawati dengan BNI cabang Bukittinggi pimpinan Zamzami yang kemudian berujung masalah. Bank BNI merasa bahwa Faridawati telah melakukan wanprestasi dalam melunasi sisa pinjaman kreditnya.
Padahal kata Faridawati, pada pertengahan Maret 2019 ia dan anak laki-lakinya, Bob Trifano telah mendatangi pimpinan Cabang BNI Bukittinggi, Zamzami untuk bernegosiasi karena Perjanjian Kredit harus diperbarui pada bulan April 2019, yaitu satu bulan ke depan.
Perempuan, kelahiran 30 Oktober 1959 di Bukittinggi, Suamtera Barat ini mengaku merasa dizolimi dan dibohongi hingga rumah di melayang dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Bukittinggi, Sumatera Barat pada Kamis (4/11/2021) lalu.
“Tujuan dari negosiasi adalah, karena kami tidak ingin melanjutkan lagi Perjanjian Kredit, tetapi hanya akan mengangsur Pokok Pinjaman setiap bulan sampai terjualnya aset Nasabah (Faridawati) yang pada saat itu sedang berlangsung proses penjualan,” kata Faridawati.
Rupanya negosiasi antara Faridawati dengan pihak BNI Cabang Bukittinggi dalam hal ini diwakili Zamzami tidak berjalan mulus, hingga hanya ada dua pilihan, yaitu Perjanjian Kredit tetap dilanjutkan dan Membayar Lunas piutang sebesar Rp 2.900.000.000,00.
“Jadi belum ada kata sepakat, dan sejak bulan Mei 2019 tidak ada pembayaran karena tidak diizinkan untuk mengangsur pokok sampai bulan Januari 2020.Nah, pada tanggal 14 Februari 2020, Kepala bagian Kredit (AR) mendatangi saya selaku nasabah dan memberitahukan bahwa sudah boleh mengangsur Pokok Pinjaman minimal Rp 1.000.000.000,00,” lanjut Faridawati.
Akhirnya sebagai nasabah, Faridawati menyanggupi untuk mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Tetapi, ketika Faridawati menyetorkan angsuran pokok sebesar Rp 140 juta ke Kepala Bagian Kredit (AR) tidak ingin memberikan tanda terima resmi dari bank yang katanya belum ada dalam sistem.
Setelah didesak, akhirnya Kepala Bagian Kredit (AR) memberikan surat yang menyatakan bahwa Faridawati telah mengangsur pokok pinjaman sebesar Rp 140 juta dan meminta agar Faridawati menambah setoran hingga Rp 1.000.000.000 sebelum tanggal 28 Februaru 2020 dan melunasi piutangnya paling lama tanggal 28 Desember 2020.
“Tetapi di bulan Februari 2019 telah berlangsung COVID-19 (pertama) , dan resmi dari pemerintah . Dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) resmi dari pemerintah dimulai awal bulan Maret 2020. Lalu awal Oktober 2020 terjual salah satu aset.Lalu kami ke Bamk BNI Cabang Bukittinggi untuk melakukan pembayaran pinjaman kami sebesar Rp 1.700.000.000,00. Ternyata kredit kamu sudah lunas dan rumah yang menjadi agunan sudah terjual melalui lelang pada bulan Juli 2020, bahkan sudah dibalik nama tanpa sepengetahun kami,” cerita Faridawati, penuh keheranan.
Meski perkara Faridawati saat itu masih dalam proses pengadilan karena tengah melakukan upaya banding, tampaknya eksekusi menjadi jalan terakhir bagi penyelesaian kasus tersebut.
Meski rumah dan lahan Faridawati telah dieksekusi, bukan berarti ia berdiam pasrah menerima keputusan tersebut, bahkan sebaliknya kini Faridawati , Eviarons (suami) dan Bob Trivano (anak) telah menunjuk Didi Cahyadi Ningrat & Rekanuntuk mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada PT.Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Bukittinggi, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Kota Bukittinggi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Agam, dan Yolanda Yohanes Chandra (Pr).
Alasan gugatan tersebut dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian yang menghilangkan hak Para Pengugat atas objek perkara a quo dimana perbuatan Para Tergugat :
1.Bahwa Pengugat I dan II adalah merupakan pasangan Suami dan Istri dan sekaligus Pemilik atas Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 M2 atas nama Faridawati dengan Surat Ukur Nomor 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 selua 2.830 yang terletak di Jorong Aro Kandikir, Kanagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat;
2.Bahwa Penguggat I dan II juga merupakan nasabah dari Tergugat I sejak tahun 1982 sampai 2016 yang secara kontinyu melakukan transaksi kredit dengan Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya;
3.Bahwa dalam proses kredit yang sedang berjalan, pada tahun 2008 petugas Tergugat I datang menemui Pengugat I dan II agar kiranya dapat menukar Srtifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor : 183 atas nama H.Eviarons, Surat Ukur : 107/Tarok Dipo/2005 Tanggal 12 Juli 2005, Luas 39 M2 yang terletak di Kelurahan Tarok Dipo, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi yang merupakan jaminan kredit Penggugat I dan II karena telah habis masa berlakunya dan harus dilakukan proses perpanjangan;
4.Bahwa kemudian Pengugat I dan II menyerahkan 3 (tiga) buah Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pengugat I dan II yang mana nilai objek tersebut secara materil melebihi 2x (dua kali) lipat dari nilai pinjaman/liquiditas kredit kepada tergugat I, namun semua itu ditolak oleh Tergugat I dengan alasan yang tidak logis dan jelas aturannya, serta tetap meminta agar dapat menyerahkan pengganti jaminan kredit tersebut tetap adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 66 atas nama Faridawati dengan Surtat Ukur Nomor : 165/1992 Tanggal 10 Maret 1992 seluas 2.830 M2 yang terlateka di Jorong Aro Kandikir, Kenagarian Gaduik, Kecamatan Tilatang Kamang, kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
“Demi keadilan , gugatan tersebut sudah sepantasnya dilayangkan karena telah menimbulkan kerugian terhadap hak Penggugat.Selain itu, penggugat adalah nasabah yang terus menerus melakukan transaksi kredit dengan pihak Tergugat I sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan usahanya.Apa pun bentuknya, eksekusi dan lelang tersebut menyisakan masalah dan itu harus diluruskan demi keadilan. Dan wajar bila kemudian banyak pihak yang menuding proses lelang dan eksekusi tersebut sarat kejanggalan,” ucap pegiat kebijakan publik dan praktisi hukum, Dr.Amril Winarjaguna P,SH,MH kepada Matamatanews.com, Rabu (12/1/2022) .
“Bila upaya hukum sedang dilakukan dan prosesnya masih berjalan di pengadilan memang sudah selaiknya tidak diperbolehkan adanya tindakan hukum lain, sebelum adanya putusan tetap.Eksekusi pun demikian, tidak bisa dilakukan sebelum adaya keputusan tetap, terlebih katanya proses lelangnya itu sendiri tidak transparan dan merugikan pihak debitur karena tidak adanya kesepakatan dan pemberitahuan.Saya setuju bila memang proses lelangnya tidak transparan dan merugikan debitur sebaiknya dilakukan pengusutan, sehingga nanti ketahuan siapa sebenarnya yang bermain dalam perkara kredit tersebut, dan siapa yang salah akan terlihat jelas, “ jelas M.Reza Putra, SH,MH, CIL, praktisi hukum dan pegiat HAM yang juga Ketua Umum YLBH Pusbakum Satria Advokasi Wicaksana (SAW).
Reza menambahkan, meski pengadilan berhak memutuskan, dan menilai suatu perkara namun pada hakekatnya harus berpedoman kepada kebenaran dan keadilan yang didasari bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada, bukan sebaliknya.
“Kami berharap, ke depannya kasus seperti ini tidak terulang lagi di wilayah lain, karena selain merugikan debitur juga akan menimbulkan rasa kurang percaya masyarakat terhadap bank, terutama yang berurusan dengan kredit. Karena kasus-kasus seperti ini bila dibiarkan akan merugikan wibawa hukum dan penegak hukum dimasyarakat,yaitu akan kehilangan kepercayaan,” pungkas Reza.
Masihkah rasa keadilan dan kebenaran berpihak pada Faridawati, suami, dan anaknya seperti yang diharapkannya? Atau sebaliknya dipetieskan seperti kasus-kasus besar lainnya yang didalamnya melibatkan sejumlah oknum dan pihak ketiga? Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu.(bar)