Friday, January 17, 2025

Pajak Tontonan Masih Jadi Penghambat Pertumbuhan Bioskop Nasional

Pajak Tontonan (PTo) masih menjadi persoalan utama yang menghambat pertumbuhan bisnis bioskop di Nusantara. Percakapan soal PTo ini menyeruak di tengah acara halal bihalal yang dirancang Djonny Syafrudin, SH Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) dan Direktur Operasional Grup Twenty One (XXI) Jimmy Haryanto bersama beberapa wartawan film di Tekko, Plaza Festival, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2019).

PTo yang besar ( berkisar 10-20 persen) tersebut ditetapkan langsung oleh Pemerintah Daerah (Pemda) . Direktur Operasional Grup 21, Jimmy Haryanto menyebut, bahwa besarnya pajak bioskop, antara satu daerah dengan daerah lain terasa janggal. “Ada bioskop yang jaraknya berdekatan, tetapi pajaknya berbeda jauh,” katanya. Ia kemudian mengambil contoh. “Antara kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi berbeda. Di Kota Bekasi pajaknya 10 %, tetapi di Kabupaten Bekasi, 30 %. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Begitu juga antara Cirebon dan Plered yang jaraknya berdekatan. Di Cirebon 10 % di Plered 25 %.”

Perbedaan PTo macam ini jelas diprediksi menghambat pertumbuhan bioskop di dalam negeri. Dan dikhawatirkan bisa memukul industri film nasional.

“Karena nilainya yang berbeda jauh padahal bioskopnya berdekatan, maka produser kadang tidak mau filmnya diputar di daerah yang pajaknya besar. Nah kalau sudah begitu siapa yang rugi? Kan daerahnya sendiri karena tidak ada pemasukan! Itu yang saya jelaskan kepada pemerintah daerah,” kata Jimmy.

Menurut Jimmy, banyak permintaan dari daerah kepada Grup 21 untuk mendirikan bioskop, namun terkait hal ini, ia menyarankan sebelum mendirikan bioskop, pengusaha harus berunding dengan pemerintah daerah. “Kita perlu jelaskan untung rugi penentuan pajak bagi daerah itu sendiri. Kami bersyukur sudah banyak daerah yang memahami”! ungkap Jimmy.

Pengusaha bioskop di Tanah Air memang sejak lama keberatan dengan penetapan pajak pertunjukan film yang berbeda di tiap daerah. Hal ini disebabkan karena Pemda melalui undang-undang Otonomi Daerah mengatur sendiri nilai pajak yang ditetapkan.

Djonny Syafrudin, SH Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mengajak para produser film nasional secara bersama-sama memperjuangkan keringanan PTo yang dikenakan oleh pemerintah daerah.

Menurut Djonny, selama ini banyak Pemda yang menerapkan PTo berdasarkan pajak hiburan, sehingga nilainya cukup besar. PTo disamakan dengan pajak karaoke, diskotik, panti pijat atau tempat-tempat hiburan lainnya. Padahal film yang ditayangkan bioskop tidak semata-mata berfungsi sebagai alat hiburan, tetapi juga memiliki fungsi komunikasi dan pendidikan.

“Memang tidak salah juga Pemdanya, karena ketika pajak hiburan ditetapkan, bioskop belum ada di daerahnya. Tetapi ketika ada bioskop, seharusnya Pemda juga membuat klasifikasi. Jadi jangan semata-mata dilihat untuk kepentingan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi berdirinya bioskop di sebuah daerah, akan memiliki dampak yang sangat besar bagi daerah itu sendiri,” ungkap Djonny

Kebijakan penerapan pajak secara otonomi ini justru bisa menurunkan minat masyarakat daerah untuk menonton film dengan harga terjangkau. Djonny juga berharap besaran pajak bioskop ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga tidak berbeda-beda di setiap daerah.

Must Read

spot_imgspot_img

Related Articles