Wajah sejarah film Indonesia ditampilkan dalam program Unforgotten Action, atau karya yang tak terlupakan oleh Persatuan Ahli Film dan Televisi Indonesia (PATFI). “Hari ini bisa dibilang episode perdana dari sekian episode yang kami rencanakan,” ujar Adisurya Abdi, selaku Ketua Panitia dan inisiator.
Sutradara senior Adisurya Abdi juga selalu Ketua PATFI melalui program berformat diskusi yang digagasnya itu mengajak masyarakat lebih tahu lagi tokoh tokoh perfilman di masa lalu.
Dari lima episode yang didiskusikan tokoh pertama adalah Anjar Asmara. Andjar Asmara atau Abisin Abbas salah satu penulis drama dan sutradara film asal Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat. Ia lahir di Alahan Panjang, 26 Februari 1902 dan meninggal di Cipanas, 20 Oktober 1961.
Ia terlibat dalam pembuatan film di Hindia Belanda. Selama berkiprah dalam dunia perfilman, Andjar berperan sebagai penulis dan sutradara, diantaranya Kartinah (1940) sebagai, Noesa Penida (1941), Djaoeh Dimata (1948), Anggrek Bulan (1948) sebagai sutradara, Gadis Desa (1949), dll.
Dalam hidupnya, Andjar mengawali karirnya sebagai seorang wartawan freelence di Bintang Timoer dan Bintang Hindia di Jakarta. Setelah itu, ia kembali ke Padang dan menjadi wartawan di Harian Sinar Soematera sekaligus jadi penulis untuk kelompok sandiwara Padangsche Opera. Gaya penulisannya lebiih alami karena menggunakan dialog sebagai bahan pokok drama, sehingga sandiwara-sandiwara itu diterima dengan baik. Beberapa karya yang ditulisnya yakni Melati Van Agam dan Siti Noerbaja.
Selain menulis naskah sandiwara, ia juga menulis naskah teater. Andjar dalam karirnya cenderung berpindah-pindah. Tahun 1940, film pertamanya berjudul Kartinah dibuat. Film yang bercerita soal percintaan ini dikritik kaum intelektual karena dinilai tak memiliki nilai pendidikan.
Selama masa pendudukan Jepang, industry film Hindia Belanda mengalami kemunduran, bahkan hampir punah. Di masa itu, hanya satu studio yang buka, dan semua film yang dihadirkan hanya propaganda Jepang.
Dalam diskusi Unforgotten Action membahas Anjar Asmara menghadirkan narasumber dari BPI Gunawan Pagaru, Yayasan Perfilman Usmar Ismail Sony Pujolaksono, Maman Wijaya, serta perwakilan dari Kemendikbudristek, dan Perusahaan Film Negara, PFN. Jalannya diskusi dipandu oleh Kepala Sinematek Akhlis Suryapati.
Selanjutnya bulan depan akan menampilkan tokoh Wim Umboh sutradara yang banyak menghasilkan film film cinta romantis. Tokoh lainnya ada akan tampil pada bulan berikutnya Bahtiar Siagian, Syumandjaja, dan Sofia WD.
Ditegaskan oleh Adisurya keberlangsungan acara ini tergantung dari kontribusi berbagai pihak.”Saya maunya banyak tokoh tetapi, terbentur masalah pendanaan,” ujar Adisurya.
Dalam pandangan Adisurya pentingnya berbagai wajah tokoh Perfilman masa lalu itu ditampilkan karya karyanya, untuk menambah pengetahuan masyarakat mengenai orang orang yang punya karya selain dari Haji Usmar Ismail yang dikenal sebagai tokoh perfilman Indonesia.(KD)