Oleh Wina Armada Sukardi
Sobat saya, pelukis Hardi, kiwari sedang sakit. Lumayan parah. Tubuh jago silat bangau putih ini mengurus. Kami sudah berkarib sejak saya baru aktif di Radio ARH, di TIM, tahun 1975an. Persahabatan yang panjang dan penuh warna warni. Hardi tipikal orang yang terbuka. Kalau tidak sependapat, dia ngocol aja sesuai pemikirannya, termasuk kepada para sahabatnya, antara lain saya. ”Sampean itu…begini- begitu,” demikian Hardi biasa mengeluarkan uneg-unegnya. Untuk saya hal itu “biasa-biasa” saja. Sudah lumrah. Saya paham benar, meski begitu hatinya baik nian. Tak ada dengki dalam dirinya. Dia juga “pemurah.” Jika kantongnya sedang tebal, dia tak segan-segan mentraktir saya di mall. Terakhir, sesaat sebelum sakit, saya bertamu ke rumahnya, pulangnya saya diberikan sekaleng keju impor. “Itu dari anak saya yang di Belanda,” katanya. Walau jelas saya dapat membeli keju itu di super maket kelas atas di Indonesia, namun keikhalasan Hardi memberikannya, tak mungkin saya tolak. Dia memang punya naluri memberi, kalau sedang berada.
Terlepas dari itu, dari dulu saya memang sudah menggandrungi lukisan karya Hardi. Kini saya mengoleksi sekitar 20an karyanya, kurang lebih. Tepatnya saya belum hitung lagi. Karya-karya Hardi yang paling besar ukurannya, di atas 2 meter kali 3 meter, mestinya semua ada pada saya. Contoh karya Reformasi, atau karya Kabah dalam ukuran yang besar. Karya kabah lainnya yang dia jual, ukuran standar dan kecil.
Berbagai tema lukisannya, mulai kasih sayang ibu, binatan (ikan besar, harimau), hitam putih, potret diri, jembatan agama dan lain-lain, saya mengoleksinya.
Sebagai sahabat yang baik, semua lukisan karya Hardi saya peroleh dengan cara saya beli. Maksudnya, saya bayar. Transaksional. Biasanya Hardi kasih harga “persahabatan” kepada saya. Jadi, saya tak pernah menawar berapa pun harga yang dia minta.
Saya sudah hapal, kalau dia sedang banyak uang, harga biasanya diturunkan sedikit. Sebaliknya, jika sedang cekak, harga dia naikan dikit. Semuanya masih di bawah harga pasaran pada waktu jual beli.
Cuma satu yang gratis, lukisan wajah saya, dalam format kecil, dan tinta seadanya. Lukisan yang langsung dia kerjakan saat saya mengunjunginya di studionya. Saya masih ingat benar, kala itu Hardi bilang, “Ini panjenengan lagi banyak pikiran!”
Terakhir kami sudah sepakat, lukisan berjudul ayam deal saya beli. Dia bangga benar dengan lukisan ini, karena waktu kejuraaan dunia sepak bola, logo kesebelasan Perancis rupanya mirip lukisan ayam karyanya, apalagi Perancis masuk final (kalah dari Argentina). Lukisan ini belum sempat saya bayar dan belum saya bawa ke rumah, (karena mobil saya tidak cukup), Hardi tak lama kemudian keburu sakit. Jadi, walaupun sudah salaman,sudah difoto-foto, lukisannya masih di rumah Hardi.
Semoga segala penyakitnya segera diangkat Allah. Dan Hardi diberikan yang terbaik. ***