Persoalan ketersediaan pangan di masa yang akan datang saangat mengkhawatirkan bila pengelola negara dalam hal ini pemerintah tidak mengantisipasinya mulai dari sekarang. Pertumbuhan jumlah penduduk dan pengurangan lahan pertanian menjadi isu utama satu dasawarsa ini.
Diperkirakan tahun 2030 jumlah penduduk Indonesia mencapai 275 juta, ini berarti ada penambahan yang signifikan bagi ketersediaan pangan. Di sisi lain, sebagai negara agraris yang mengandalkan lahan sebagai sumber utama bagi ketersediaan pangankian menyusut disebabkan oleh kebutuhan warga akan perumahan, pabrik,jalan serta infrastruktur lainnya.
Untuk mengatasi persoalan di atas, mau tidak mau Indonesia harus segera memasuki pertanian dengan secara modern. Dengan lahan yang tersedia dapat menghasilkan panen yang maksimal. Agar rencana pemenuhan pangan di atas diperlukan aturan yang mendukung ke arah itu seperti regulasi dan kordinasi, serta permodalan yang memadai.
Dalam pandangan M. Irwan Zulfikar, MBA anggota Komisi IV DPR-RI dai Fraksi Partai Amanat Nasional, ada beberapa hal yang perlu penanganan lebih serius yaitu masalah kordinasi yang intens antara pemerintah dan petani.”Misalkan dalam hal ketersediaan lahan dan pupuk. Bila ada miskomunikasi maka akan terjadi kesalahan ketika kami sebagai lembaga yang juga turut menyusun anggaran akan keliru dalam menyiapkan berapa anggaran yang dibutuhkan,” papar Irwan yang ditemui TRIAS di ruangannya di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Masih masalah kordinasi di lapangan antara Kementerian Pertanian dan para Kepala Dinas Pertanian di berbagai daerah, kapan kepastian itu masa tanam : tanggal dan bulannya.”Maka saya katakan tadi harus ada kordinasi secara intens. Karena ini terkait dengan kebijakan dan rencana pemerintah dalam menyalurkan bibit. Agar tidak salah dalam menetapkan kapan petani diberi bibit. Masalah mendasar ini dalam perhatian kami di Komisi IV yang membawahi bidang pertanian, kiranya perlu ditingkatkan,”ungkap Irwan lagi.
Sebagus apa pun perencanaan, lanjut Irwan, tanpa dikawal dengan kordinasi yang baik, maka rencana tersebut tidak akan mendapatkan hasil yang diinginkan.Selain persoalan pupuk dan bibit d atas, hal lain terkait kordinasi adalah juga soal kebutuhan peralatan pertanian dan jenis tanaman pangan yang harus sesuai dengan kondisi daerah dan kebutuhannya apa.”Karena kalau tidak sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut akan peralatan pertanian dan jenis tanaman maka hasilnya tidak akan maksimal. Aalagi kita akan memasuki modernisasi di bidang pertanian, hal-hal mendasar seperti kordinasi ini sudah tidak lagi ada masalah,”kata dia.
Mengatasi itu, Irawan berpendapat perlunya dibangunnya data base yang memuat informasi akurat tentang pertanian di seluruh wilayah Indonesia.”Melalui data base ini kita mengharapkan adanya kecocokan data antara kementerian dan kepala dinas di berbagai daerah itu masalah kordinasi bisa diatasi,” tegasnya.
Modernisasi Pertanian dan Regulasi
Selanjut Irwan menguraikan solusi dlam mengatasi ketersediaan pangan dan perlunya regulasi yang berpihak pada kepentingan usaha rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, satu di antaranya yakni masalah pangan. Untuk mendukung mempercepat modernisasi bidang pertanian, selain kordinasi, perlu juga adanya regulasi yang lebih rinci lagi dalam mengatur agar kelak di kemudian haris tidak memunculkan masalah baru.
“Kami di DPR RI kini sedang menggodok Rancangan Undang Undang masalah budidaya pangan,”kata Irwan.
Sementara itu dalam masalah pangan kebijakan (UU Nomor 18 Tahun 2012) tentang Pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional. Mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan merupakan hal mendasar yang sangat besar arti dan manfaatnya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan terkait penyelenggaraan pangan di Indonesia.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan bertujuan untuk. meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu juga untuk mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat. Tujuan penting lainnya juga meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan dan melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.
Poin penting lain dari UU Pangan saat ini adalah urgensi dibentuknya lembaga yang mempunyai otoritas kuat untuk mengkoordinasikan, mengatur dan mengarahkan lintas kementerian/sektor dalam berbagai kebijakan dan program terkait pangan. Dalam UU Pangan yang disahkan oleh DPR bulan Oktober 2012, pada Pasal 126 disebutkan, “Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”. Kemudian pada Pasal 127 disebutkan, “Lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan”.
Mengingat lembaga ini posisinya sangat strategis, harapannya keberadaan badan otoritas pangan bisa terhindar dari benturan kepentingan atau ego sektoral terkait. Dengan posisi yang tinggi, kita tentu berharap badan otoritas pangan bisa lebih independen. Terlebih lagi, badan otoritas pangan tersebut berfungsi sebagai pembuat kebijakan pangan sekaligus operator pangan. Lembaga tersebut akan bertugas melaksanakan pengadaan, produksi, penyimpanan, hingga distribusi pangan nasional.
Beberapa hal tersebut menguatkan peran Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah untuk bertanggung jawab agar penyelenggaraan pangan nasional dapat dilaksanakan dengan lebih terarah, berhasilguna, dan berdayaguna. Dengan demikian pelaksanaan manajemennya dengan memberdayakan seluruh potensi stakeholder sehingga terjadi sinergi dan potensial untuk menghasilkan penyelenggaraan pangan secara efektif dan efisien agar mampu menghadapi persoalan serta tantangan masa kini juga masa depan.
Persoalan dan tantangan pangan semakin hari semakin kompleks, senantiasa berubah dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya spesifik lokal maupun global. Perubahan serta perbedaan seperti kondisi aktual masyarakat, dinamika kependudukan, perkembangan Iptek, revolusi informasi, telekomunikasi, transportasi, demokratisasi, desentralisasi, dan tentunya globalisasi, kita ketahui merupakan determinan pangan yang harus selalu kita kaji sebagai landasan untuk melakukan antisipasi nasional.
Dalam rangka mewujudkan pemantapan ketahanan pangan juga dibutuhkan dukungan regulasi terkait, antara lain: perlindungan sumber daya pangan; perlindungan terhadap petani, nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha pangan lain; penelitian dan pengembangan pangan; kelancaran distribusi pangan; harga dan pemasaran pangan; perdagangan pangan; perlindungan konsumen; dan pengendalian impor pangan; serta hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Penanganan ketahanan pangan melibatkan lintas sektor, lintas waktu dan lintas pemangku kepentingan, sehingga diperlukan koordinasi yang lebih intensif dan mantap. Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan mengamanatkan Badan Ketahanan Pangan sebagai Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan yang membantu mengoordinasikan perumusan kebijakan, evaluasi, pengendalian dan pelaporan ketahanan pangan.
Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 disusun sesuai dengan arahan UU No.17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, UU No.18/2012 tentang Pangan, dan memperhatikan agenda prioritas RPJMN 2015-2019 serta Permentan No. 19/HK.140/4/2015 tentang Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019, untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berlandaskan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.
Nelayan, Ikan dan Batas Tangkapan
Terkait kelautan dan perikanan, menurut pengalaman Irwan setelah melihatdan mendengar daripara konstituennya, harus diperjuangkan terkait kelautan dan perikana yang paling penting j soal izin untuk mencari ikan itu perda itu harus diperhatikan betul karena kalau misalnya ada radius berapa supaya ini jelas.
“Karena jangan sampai karena aturan itu yang melarang antar kabupaten ini sangat mengganggu masyarakat nelayan untuk mencari ikan karena ada pembatasan wilayah itu. Artinya kalau misalnya bisa diizikan untuk radius berapa mil karena memungkin misalnya pindah ke kabupaten lain tetap ada batasan radius itu saya pikir akan banyak membantu,” jelas Irwan.
Selama ini memang ada larangan nelayan di satu kabupaten ke kabupaten lainnya. Padahal,maksud saya kalau saja ada batasan beberapa mil akan memberikan ruang kepada nelayan untuk lebih leluasa mendapatkan hasil ikan untuk menghidupi keluarganya.
“Cuman karena ada batasan itu jadinya mereka takut. Terkait apalagi nelayan melanggaran aturan ini pasti ada hukumnya. Nah ini yang menjadi masalah. Dengan adanya aturan ini menjadi sangat terbatas untuk para nelayan mencari ikan,”kata Irwan.
Dari hasil kunjungannya menemui konsituennya,Irwan mengumpulkan informasi, dan infomrasi tersebut disampaikan kepada Dirjen Pengelolaan Ruang Laut.”Jadi memang kami sudah memberikan masukan tentang masih adanya nelayan-nelayan mengalami kendala untuk mencari ikan karena persoalan izinnya itu,” ujar Irwan.
Masalah klasik yang masih menghantui persoalan pangan ini adalah juga terkait masalah permodalan. Karena kemajuan di bidang apa pun, lahan ada yang digarap, tanahnya bagus, dan sumber daya manusianya tersedi, tetapi kalau modal taka da,makasemua tidak akan jalan.
Dalam hal ini, baik di bidang pertanian maupun kelautan, memerlukan akses untuk mendapatkan permodalan, tetap di bawah control dan system yang baik. Agar lalu lintas keuangan antara pinjaman modal dan pengembaliannya bisa berjalan dengan baik, sehingga bisa berlanjut dalam waktu yang lama.
“Kami sebagai anggota DPR RI, sebagai penyambung lidah terus membuat UU dan solusi agar permasalahan ketersediaan pangan ini bisa terpenuhi dengan bersama-sama bekerja untuk kehdiupan rakyat yang lebih baik. Tentunya dengan cara-cara yang mudah prosedurnya. Satu di antaranya kami bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk petani dan nelayan mendapatkan pinjaman modal dengan cara yang sederhana dan tidak memberatkan,”tegas Irwan. DP