Presiden Negara Facebook, tentulah Mark Zuckerberg. Tidak ada bayi di negara itu. Karena, hanya mereka yang minimal berusia 13 tahun, yang boleh menjadi warga negara FB. Setidaknya, ada 113,3 juta penduduknya kini. Itu bukan jumlah jiwa, karena satu jiwa bisa memiliki beberapa KTP eh beberapa akun FB.
Dibandingkan dengan warga media sosial yang lain, jumlah warga FB adalah yang terbanyak. Itu menjadi posisi tawar yang kuat. Itu adalah magnet yang ampuh untuk mendatangkan uang. Itu pulalah yang menempatkan Mark Zuckerberg sebagai tiga orang terkaya di dunia, bersama Jeff Bezos dan Bill Gates.
Kata sahabat saya dari Lintong Nihuta: hepeng mangatur nagaraon. Mark Zuckerberg memang belum pernah ke kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, itu. Tapi, sahabat saya itu adalah warga negara FB. Marganya, Sihombing. Ia yang mengabarkan ke saya, bahwa harta Mark Zuckerberg susut Rp 102,24 triliun.
Bakal bangkrutkah Presiden Negara Facebook itu? Saya jadi ingat tentang dua orang terkaya di Indonesia: Budi Hartono dengan kekayaan Rp 204,7 triliun dan Michael Hartono dengan harta Rp 190,5 triliun. Artinya, susutnya harta Mark Zuckerberg hampir dan lebih dari separuh harta orang terkaya negeri ini. Jelas kan, harta Mark Zuckerberg sangat-sangat banyak.
Susutnya harta Zuckerberg, karena penurunan nilai saham FB, setelah salah satu pengiklan terbesar di dunia yakni Unilever, bergabung dalam kelompok perusahaan yang memboikot iklan di jejaring media sosial. Pemboikot itu, antara lain, Verizon, Patagonia, The North Face, hingga Coca Cola. Mereka memboikot, karena content ujaran kebencian dan rasisme di FB sudah melebihi ambang batas.
Ujaran kebencian dan rasisme bukanlah hal baru di FB. Pada 26 Mei 2011 pukul 21.28 WIB, saya sudah menulis “Hampir 50% Wall Facebook Berisi Kata-kata Kasar” di FB. Di masa itu, para pemasang iklan belum bereaksi. Jumlah pemasang iklan di FB memang belum sebanyak kini. Produsen raksasa dunia, juga belum jor-joran beriklan di media sosial.
Secara bisnis, boikot para pemasang iklan tersebut, tentulah akan memperkuat posisi tawar produsen terhadap FB sebagai pengelola platform media sosial. Menurut saya, ini babak baru yang signifikan, yang dihadapi media sosial. Sebelumnya, pada tahun 2018, Edelman Trust Barometer Global Report sudah menunjukkan, bahwa kepercayaan publik terhadap media sosial mulai menurun.
Penyebabnya, antara lain, karena massif-nya berita bohong di platform media sosial. Namun, itu tak cukup kuat untuk membuat para pemasang iklan bereaksi. Karena itulah, saya menyebut reaksi mereka kini, merupakan babak baru yang signifikan, yang dihadapi media sosial.
Boleh jadi, reaksi mereka juga didorong oleh dampak wabah virus corona yang tengah melanda dunia. Artinya, faktor ujaran kebencian, rasisme, dan virus corona telah menjadi satu kesatuan yang bikin mumet para pemasang iklan. Grafik penjualan turun, ngapain juga jor-joran beriklan di media sosial.
Dari pemahaman saya, produsen besar tak akan mengurangi belanja iklan, tanpa dasar yang kuat. Kenapa? Karena, mereka sangat menjaga reputasi brand. Mereka tak ingin “pengurangan belanja iklan” dimaknai para stakeholder sebagai menurunnya kinerja perusahaan. Itu bisa merusak segalanya, bahkan bisa menghancurkan perusahaan.
Nah, boleh jadi, faktor ujaran kebencian, rasisme, dan virus corona adalah momentum yang tepat bagi mereka untuk memangkas belanja iklan, tanpa harus terkuak realitas bahwa kinerja perusahaan sedang menurun. Ini taktik bisnis biasa, yang kerap digunakan oleh perusahaan, terutama yang sudah menyadari pentingnya value of brand.
Dalam bahasa sahabat saya dari Lintong Nihuta itu, ya: hepeng mangatur nagaraon. Dengan uang, pemasang iklan menekan media sosial. Demi uang, pengelola media sosial akan melakukan negosiasi. Agaknya, setelah wabah virus corona, media sosial dan para pemasang iklan akan bersama-sama bergandengan tangan memasuki new era.***
Isson Khairul
Persatuan Penulis Indonesia