Ini tentang Bu Susi, Susi Pudjiastuti. Saya pikir, Bu Susi-lah yang menyadarkan banyak pihak di negeri ini, betapa berharganya lobster. Dalam Permen KP 56/2016 yang diterbitkan Bu Susi, lobster yang boleh ditangkap, minimal yang sudah berukuran 8 sentimeter dengan bobot 200 gram.
Demikian rinci Bu Susi menetapkan rumusan. Kenapa? Karena ia sangat paham siklus hidup lobster. Jauh sebelum ia diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada 26 Oktober 2014, ia sudah bertahun-tahun menangani lobster. Ia paham siklus hidup lobster, wilayah yang kaya akan lobster, hingga ke market lobster di mancanegara.
Tiap tahap ia tangani secara maksimal. Karena itulah, Bu Susi menjadi sangat ahli tentang lobster. Pada tahun 1995, jauh sebelum menjadi menteri, ia sudah tahu, ada pihak-pihak yang melakukan pengambilan bibit lobster untuk diperdagangkan. Awalnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kemudian menyebar ke daerah lain.
Maka, ketika Bu Susi menerbitkan aturan rinci penangkapan lobster serta larangan mengekspor bibit lobster pada tahun 2016, itu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Kebijakan itu ia ambil, karena ia tahu betapa berharganya lobster dan pentingnya menjaga populasi lobster di laut kita.
Kini, Bu Susi sudah tidak lagi menjadi menteri. Ekspor bibit lobster sudah tidak dilarang. Lobster yang boleh ditangkap pun, bisa ukuran yang lebih kecil: 6 sentimeter dengan bobot 150 gram. Maka, ketika Kamis (25/06/2020) kemarin saya membaca cuitan @susipudjiastuti, saya paham, betapa risaunya Bu Susi.
“Sekali ekspor dapat satu bungkus rokok masuk ke rekening negara,” begitu cuitan Bu Susi di akun Twitter pribadinya. “Harga peyek udang rebon satu biji saja tidak dapat itu Rp 1.000. Ini lobster punya bibit lho,” tulis Bu Susi sambil menyertakan ikon emoji berpikir.
Kita tahu, berdasarkan Peraturan Pemerintah yang baru, 5 Mei 2020, eskpor benih bening lobster (krustacea) dihargai hanya Rp 250 per seribu ekor. Ini tentu sangat melecehkan lobster sebagai kekayaan laut yang berharga. Bagi saya, perbandingan “sebungkus rokok” dan “peyek udang rebon” dari Bu Susi, sesungguhnya adalah tamparan keras terhadap kebijakan baru yang membolehkan ekspor bibit lobster.
Sangat tidak sebanding, apa yang diperoleh negara dari membuka keran ekspor bibit lobster tersebut. Tapi, itulah yang terjadi kini. Itu hanya satu contoh, betapa tidak singkronnya keinginan untuk memberdayakan hasil laut, dengan kebijakan yang dibuat.
Saya yakin, kritik Bu Susi, bukanlah karena ia tidak dipilih lagi menjadi menteri. Ia mengkritik, karena ia sangat cinta bangsa ini, khususnya di sektor kelautan. Pada 29 Juli 2019, saya menulis artikel di Kompasiana dengan judul “Ketika Bu Susi Curi Start Pidato 17 Agustus.”
Ini kata-kata Bu Susi: “Jaga tanah-tanah ini. Jangan sampai jatuh ke tangan asing. Ini pulau terluar, penting untuk pertahanan negara kita.” Begitu pesan Bu Susi kepada warga Pulo Dua, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, pada Jumat (26/07/2019).
Menurut saya, pesan Bu Susi itu adalah pesan kebangsaan yang sangat kuat. Bukan hanya relevan untuk saat itu, tapi juga akan terus relevan untuk perjalanan bangsa ini ke depan. Saya berharap, Bu Susi akan terus kritis, karena itu penting untuk mencerahkan jiwa-raga anak bangsa.
Isson Khairul
Persatuan Penulis Indonesia