Thursday, December 5, 2024

DARAH PANGLIMA

Isson Khairul

Iklan adalah darah di media. Content adalah panglima di media. Itu adalah dua hal yang saya pahami, selama puluhan tahun mengelola bisnis media cetak. Kini, di era media sosial, saya menemukan kembali kedua hal yang saya pahami tersebut. Panglima dan darah saling berhadapan.

Kita tahu, selama bulan Juli 2020, sejumlah perusahaan raksasa, seperti Verizon, Patagonia, hingga The North Face, menyatakan sepakat untuk memboikot pemasangan iklan di platform media sosial. Hari ini Sabtu (27/06/2020), saya membaca “Coca-Cola Hentikan Sementara Iklan di Seluruh Platform Media Sosial” sebagaimana dilansir Kompas.com pada pukul 11:03 WIB.

Bagi saya, itu sama sekali tidak mengagetkan. Kenapa? Karena, panglima dan darah adalah nyawa media. Content dan iklan adalah eksistensi media. Nampaknya, rumusan media cetak yang sudah senjakala itu, berlaku juga di platform media sosial yang kini sedang ingar-bingar.

Coca Cola memutuskan untuk menghentikan sementara pemasangan iklan di seluruh platform media sosial di seluruh dunia, karena ujaran kebencian. Karena rasisme. Produsen minuman raksasa tersebut menilai, content ujaran kebencian dan content rasisme sudah melewati ambang batas di platform media sosial.

Tentu, ambang batas yang dimaksud bukan hanya sebatas jumlah content ujaran kebencian dan jumlah content rasisme di media sosial. Tapi, juga intensitasnya. Juga pengaruh content tersebut terhadap perilaku publik. Dalam hal ini, perilaku publik dalam bersikap dan bertindak.

Saya menyebut, momen penghentian pemasangan iklan tersebut sebagai momen “saling berhadapan” antara content dan iklan. Antara panglima dan darah. Sebelumnya, content dan iklan saling berkolaborasi, saling bergenggaman.

Selama puluhan tahun mengelola bisnis media, saya mengalami berkali-kali momen “saling berhadapan” dan momen “saling bergenggaman” tersebut. Harap diingat, bisnis media adalah bisnis yang sangat dinamis. Media membutuhkan iklan dan sebaliknya iklan membutuhkan media. Di saat-saat tertentu, ada titik momen “saling berhadapan” tersebut.

Bagaimana media bersikap? Bagaimana dengan panglima? Merespons pemboikotan tersebut, CEO Facebook Mark Zuckerberg mengatakan, pihaknya siap melakukan diskusi lebih lanjut mengenai kebijakan baru. Artinya, pengelola media raksasa seperti Facebook dan produsen minuman raksasa Coca Cola, bersiap untuk urun-rembuk.

Itu menjadi salah satu bukti nyata, betapa media dan iklan saling membutuhkan. Oh, ya, ada kata-kata CEO Coca Cola James Quincey yang patut kita cermati: tidak ada tempat untuk rasisme di dunia ini, dan tidak ada tempat juga untuk rasisme di media. Isson Khairul
Persatuan Penulis Indonesia

Must Read

spot_imgspot_img

Related Articles